Siang yang panas dibulan Juni tiga tahun yang lalu…
“Aku sudah menunggumu dari tadi, kau kemana saja??”
sahutku jengkel.
“Maaf ya say, mereka memberiku test yang lebih dari
biasanya,” katanya manja.
“Kenapa begitu? Apa kau sudah pasti diterima??”
“95% Aku yakin, Heheheh.” Kulihat dia mengganti
sepatu pantofelnya denagn sendal jepit.
Ya, sudah ayo
kita pergi makan”. Dia tersenyum sambil merangkul bahuku.
Namanya Willa, Dia sahabatku dari sejak SMA.
Parasnya biasa saja tapi memiliki ketertarikan sendiri jika kita menatapnya,
matanya yang tajam seakan kau akan diberi tahu akan mendapatkan vonis penyakit
yang sangat langka. Senyumnya yang ramah, seakan kau akan menatap vonismu
dengan senang hati. Rambutnya yang selalu dikepang kesamping, pecinta sendal
jepit no. 1, selalu bawa botol air mineral dan pengagum setia Adam Lavine nya
Maroon 5 (Cowok tuh seharusnya seperti nih orang, cool, macho, dan berkarisma
katanya) . Kepribadiannya yang ceria, manja, tapi pendengar yang baik,
blangsakan tapi peduli sama yang lain.
Itulah yang kusuka dari sosok cewek disebelahku ini
yang akan menuju proses pendewasaan menjadi seorang wanita.
“Kau gak telepon Dendy?? Katanya. “Sudah, Kubilang
jumpa di warung kopi belakang kampus seperti biasanya.” Jawabku malas.
“Kenapa, Mogok bicara lagi, kali ini masalahnya apa
sih? Aku heran liat kalian berdua, 2 orang cowok, sahabatan dari dulu, tinggal
1 atap, tapi kelakuan kayak anak kecil aja, ingat umur mas bro, ni bukan zaman
Smp kayak dulu.” Ceramahnya.
Telingaku gak tahan dengar ocehannya dan juga hasrat
ingin curhat yang sudah menggebu didada sudah sesak ingin dikeluarkan, saat itu
juga aku cerita semuanya tentang sahabatku satu lagi bernama Dendy yang
kelakuannya belakangannya ini membuatku resah, jengkel gak ketulungan. Pergi
gak bilang, pulang terlambat, gak pernah makan dirumah, tiap malam selalu
teleponan sama cewek, dan selalu didepan laptop setiap saat. Dan kecurigaanku
bertambah saat dia mulai teriak2 didepan laptopnya, sampai2 mengganggu
pekerjaanku sebagai editor majalah. Ini adalah pekerjaan pertamaku, aku sedang
merintisnya, dan bisa gagal hanya gara2 teriakan2 Dendy.
Willa hanya tersenyum mendengar keluhanku, senyum
yang sangat manis sekali, disaat dia tersenyum, seakan hilang semua kegalauan
hatiku. Dia hanya berkata singkat, padat dan jelas “kita lihat saja nanti.”
8 bulan kemudian…
“Dasi ku, kau melihatnya gak??” Teriak Dendy. “ Diatas meja, sudah kusetrika
tadi” jawabku.
“Thanks ya Bro, dah baik banget mau nyetrikain”
cengir Dendy.
“Ya sama-sama, sekalian aku juga lagi nyetrika tadi”
jawabku.
“Aku beruntung punya sahabat seperti kamu, kau
mengingatkanku dengan almarhum ibuku, seandainya dia masih hidup, pasti dia
akan melakukan hal yang sama seprtimu, peduli dan perhatian denganku, selalu
mengingatkanku, dan selalu menolongku.” Matanya berair.
“Aku melakukannya dengan senang hati lagi Den,
lagian itulah yang namanya sahabat.” Jawabku.
Dia tersenyum. Senyum seperti anak kecil yang diberi
permen oleh ibunya.
“Ayo kita sarapan, mudah-mudahan Tender kali ini
sukses dan cepat terealisasi” Ajakku
Kami berdua pun sarapan dipagi yang cerah itu,
berharap hari ini bisa lebih baik dari hari yang sebelumnya. Berharap Tuhan
Yang Maha Esa memberikan jalan kelancaran dan kemurahan rezeki dihari ini.
Kami pun berbincang-bincang mengenai pekerjaan kami
masing-masing. Dan Dendy pun bercerita panjang lebar tentang bisnis yang baru
ia rintis yaitu Jasa Antar Jemput. Apa saja bisa diantar dan dijemput, mulai
dari paket, surat, barang pindahan, barang-barang yang ditinggal atau
tertinggal dirumah atau disuatu tempat oleh pemiliknya sampai jasa antar jemput
anak sekolah.
Gak sia-sia beberapa bulan ini dia telat pulang
kerumah bahkan tidak pulang hanya untuk mewujudkan cita-citanya ini. Aku
sendiri kadang malu dengan semua yang sudah kukatakan dengannya, mengolok-olok
bahwa dia hanya membuang-buang waktu dengan online terus menerus dengan
laptopnya. Seakan-akan laptopnya itu sudah menjadi istrinya. Tapi sekarang anak
itu sudah membuktikan ke semua orang terutama kepada kedua sahabatnya Aku dan
Willa bahwa dia bisa. Sekarang Dendy telah berubah menjadi lebih baik,
bijaksana, dewasa, dan bertanggungjawab. Aku sangat kagum dengannya dengan
semua pencapaiaannya. Kagum dengan semua kerja kerasnya berbulan-bulan. Aku pun
jadi teringat apa kata Willa waktu itu, “ kita lihat saja nanti”. Aku menatap pria di depanku ini sambil
menilai bahwa semua kata Willa itu benar, seakan Willa sudah tau apa yang akan
terjadi, dan menunggu.
Ya, Menunggu. Salah satu kata andalannya Willa. Jika
kita melakukan sesuatu berawal dari niat dalam hati, berjalan sesuai kaki
melangkah, menggemgam erat apa yang akan kita tuju, dan mulut yang tak hentinya
berdoa, maka akhirnya adalah menunggu agar Tuhan Yang Maha Esa melakukan apa
yang pantas untuk kita sesuai standarisasi yang kita minta.
Inilah kami, Aku, Dendy dan Willa selalu
menghabiskan waktu bersama dalam kurun waktu sejak lama. Baik buruknya sifat
dan kelakuan sudah hapal luar dalam, dari hal yang sangat disukai sampai yang
tidak disukai, isu-isu yang sedang populer, gosip disekitar selebritas yang gak
habis-habis. tipe cewek dan cowok ideal, film dan aktor favorit, lagu dan band
atau penyanyi idola, merek pakaian dan sepatu yang cocok dijadikan referensi
untuk dicoba, makanan dan tempat nongkrong yang paling ok, sampai kepada pilihan
partai politik yang diunggulkan menang pilkada dan menerka-nerka siapa jagoan
yang bakal menang dan menjadi presiden untuk yang kesekian kalinya, semua sudah
jadi bahan obrolan kami bertiga.
Aku tidak tau bagaimana mengungkapkan kedekatan kami
bertiga. Semuanya saling melengkapi satu sama lain. Dendy yang rupawan,
fashionable, pintar, mandiri, urakan, tapi gak segan memintamaaf merendahkan
dirinya kepada orang yang dituakan, tipe pria dan menantu idaman semua orang.
Willa yang cantik, apa adanya, ramah, sopan, walaupun cerewet, tetap menjadi
andalan kami jika butuh tempat untuk curhat. Sedangkan aku biasa-biasa saja,
tidak terlalu pintar, dan tidak terlalu tampan, biasa-biasa saja, serta
menyenangi pekerjaan rumah tangga (karena sudah dibiasakan oleh ibuku dari
dulu).
Kadangkalanya persahabatan kami diuji oleh keegoisan
yang muncul dari diri kami masing-masing. Kejenuhan akan suatu hal, kemarahan
yang tidak bisa dikontrol, silang pendapat, kesalah pahaman dan kecemburuan
menjadi bumbu-bumbu kami dalam menikmati hidup selagi masih dikasih umur dan
dapat berkarya. Itu semua menjadi batu loncatan bagi kami agar menjadi manusia
yang dapat berguna bagi orang lain, karna sebaik-baiknya manusia adalah manusia
yang berguna bagi orang lain.
Tapi ada satu titik dimana semua bisa berubah 180°.
Yaitu disaat kita jatuh cinta. Itulah yang kami rasakan saat ini. Saat jatuh
cinta kepada seseorang secara tulus, seakan semua yang kita kerjakan akan
terasa mudah dan cepat jika kita bersama orang yang kita cintai tersebut. Cinta
itu buta, itulah kata-kata yang sering kami dengar dari orang-orang yang
katanya sudah berpengalaman soal cinta. Buta karena tidak memandang siapa pun,
ras, agama, suku, kaya miskin, cantik jelek, tinggi rendah, semua bisa jatuh
cinta termasuk kami bertiga.
Setelah bertahun-tahun kebersamaan kami, perasaan
jatuh cinta menghampiri kami. Kebersamaan kami memunculkan benih-benih cinta
yang nantinya kelak entah siapa dengan siapa berlabuh ke pelaminan. Perasaan
yang tidak bisa diajak kompromi, tidak mengenal batas waktu dan tidak mengenal
syarat.
Aku pun merasakannya. Kebersamaan kami menumbuhkan
benih cinta tersebut. Aku ingin mengungkapkannya, tetapi jurang besar bernama
persahabatan tepat berada didepanku. Aku tidak punya keberanian apakah
keputusan yang akan aku ambil ini benar atau tidak. Tapi inilah cinta, tidak
bisa ditunda, dia harus dikejar, dirangkul dan dipertahankan, tapi apa aku
bisa, apa aku bisa mengungkapkannya kepada orang yang selama ini diam diam
kucintai? Apakah dia akan menerima cintaku dan bersedia menjalani sisa hidup
bersama berdua denganku?
Itu adalah pertanyaan besar yang selalu
terngiang-ngiang di kepalaku. Jika sesuai harapanku, itu merupakan hal yang
sangat luar biasa dalam hidupku selama ini. Mencintai seseorang tanpa batas.
Tapi jika kebalikannya, entah apa yang akan terjadi, apakah dunia akan runtuh
atau hal buruk akan terjadi menungguku.
aku sangat mencintainya. Aku menerima baik buruknya
dia. Aku mencintai gerak geriknya, senyumnya, manjanya, ketulusannya, semua
dalam dirinya aku mencintainya. Tapi aku tidak punya keberanian. Aku hanya pria
yang biasa-biasa saja, apakah aku pantas bersamanya??
“ Kau kenapa? Sakit? Kalau sakit, kita ke dokter
dulu. Jangan kerja terus, istirahat dulu.” Tanya Dendy yang melihat aku
tergeletak ditempat tidur kecapekan.
“Aku tidak apa-apa” jawabku singkat.
“Aku akan telefon Willa agar datang kesini, aku gak
bisa masak, biar nanti kusuruh dia masak biar kau bisa makan,biar ada tenaga.”
Pinta Dendy
“Tapi aku masih bisa masak lagi Den, gak perlu Willa
datang. Ntar dia jadi heboh kalau sudah disini, malah gak jadi masak dianya.
Kayak gak tau masakan Willa aja Lu” Jawabku
“Sekali-kali kita kita gak mau ngerepotin Lu, Jatah
memasak kan selalu Lu yang pegang, nah sekali-kali biar Willa yang pegang. Tapi
iyaya Willa kalau masak gak terlalu enak, Asin mulu. Kebelet mau kawin kayaknya
dia yah..” Bantah Dendy sambil senyum-senyum.
“Hahaha, siapa yang akan mendampingi Willa menikah?”
Batinku.
Januari tahun lalu….
“Mau pesan apa mas, mbak?” tanya seorang waitress
bertahi lalat diwajahnya, mirip sekali Rano Karno versi cewek.
“Coffe Mexican Latte milik mas Ganteng, Banana Strawberry milkshake pake
chocochips pesanan mas Yang Biasa-biasa saja dan Mochacinno shake dengan krimer
yang banyak punya Mbak Willa” sahut waitress tersebut, sebelum Willa menbuka
mulutnya untuk memesan.
“Ok, ditunggu” sahut Waitress cantik berlalu tanpa
menanyakan apakah benar pesanan kami tersebut.
Kami bertiga hanya senyum melihat tingkah Waitress
yang selama 5 tahun belakang ini siap sedia melayani kami dengan menu pesanan
yang sama, meja yang sama, dan hari serta jam yang sama.
“Aku punya pengumuman” Seruku membuka pembicaraan. “Aku
diangkat menjadi kepala redaksi bagian sosial budaya dikantorku?”
“Bagus, aku selalu mendukungmu koq, Always Bro.”
Jawab Dendy Senang.
“Alhamdulillah, tambah sukses aja kawan ku nich,
tapi jangan keasyikan kerja, ingat umur dah tua, kapan rencana Lu kawin” Tanya
Willa.
Deg.. Hatiku tertegun mendengar perkataan Willa
barusan. Apa maksud dari Willa, apakah dia juga ingin menikah.
“Tungu aja bulan depan, aku akan mengenalinya kepada
kalian.” Sahutku lantang.
“Lu serius?? Siapa dia? Apa aku kenal?” Desak Willa.
“Hmm, kau sangat mengenalnya”
“Apa rekan kerjamu?”
“Tidak”
“Jadi siapa? Koq aku gak pernah dengar kalian pacaran?”
“Memang aku gak pacaran dengannya.”
“Lahh, jadi…”
“Aku ingin mengungkapkan isi hatiku kepadanya”
“So sweet”
“Kenapa mesti bulan depan? Kenapa gak sekarang?”
“Hmm, aku takut dia belum siap.”
“Berarti kau masih ragu, donk?”
“Hmm, enggak, aku dah memutuskannya”
“Berarti bulan depan kita makan enak”
“Ya, gitulah”
“Aseek..”
Aku sudah memutuskannya. Aku akan mengungkapkan
semua perasaanku padanya. Walaupun bakal ada yang menentangku, tapi perasaan
ini tak terbendung lagi. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari, dan aku akan
siap dengan konsekuensinya.
Hari itu aku mengajaknya pergi kesuatu tempat. Kami
hanya pergi berdua. Sudah saatnya aku menceritakan apa yang selama ini terjadi
denganku dan perasaanku.
Kami duduk bersebelahan di dalam mobil tanpa alunan musik. Aku menggenggam
tangan kanannya dan dia hanya diam menggigit bibirnya. Aku ingin mengulur
waktu, tetapi jalan didepanku ini membuatku ingin buru-buru mengakuinya. Saat
terindah dalam hidupku adalahsaat saat dimana aku bertemu denganmu dan mencintaimu. Dan sekarang aku tahu bahwa hadiah terbesar dalam hidupku adalah kamu. Demi dirimu, hanya demi dirimu. Aku tak bisa memberikan seluruh dunia namun aku akan berjanji padamu saat ini aku akan menjadi seseorang hanya untuk dirimu. Ya, Ini hanya untukmu, hanya menjadi untukmu. Cinta di dalam hati kecilku, aku ingin mengisinya dengan keharumanmu. Aku ingin terkunci didalamnya, selamanya hingga aku dapat merasakan kebahagiaan.
Makhluk disebelahku ini menatapku dalam diam seakan ingin merontgen apa yang ada didalam pikiranku. Dia sudah gelisah dan sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi, dan segera ingin tahu menagapa dia berada disini denganku.
“Willa, aku ingin mengungkapkan kebenaran ini denganmu yang selama ini aku sembunyikan terutama darimu, ini adalah perasaan yang paling dalam, jauh lebih dalam dari lubuk hatiku. Mungkin aku lancang, tetapi inilah kebenarannya. Kebenaran yang mungkin akan membuatmu tidak percaya akan aku yang biasa-biasa ini. Aku tau kau adalah pendengar yang baik, kau akan memberikan solusimu yang terbaik, pendapatmu yang relevan, dan perasaanmu yang menjadi peneduh dikali hati ini sedang gundah. Jadi tolong dengarkan ini, karena aku tidak akan mengulanginya kembali.” Jawabku.
Aku pun menumpahkan isi hatiku yang sebenarnya kepada makhluk cantik disebelahku ini. Semua kegundahanku, kegalauanku, kecemasanku, kemarahanku, kesedihanku yang selama ini aku jalani sejak awal bertemu sampai detik ini, rasa cintaku yang sangat mendalam, tak tergantikan oleh apapun, semua aku ungkapkan kepadanya.
Aku melihatnya tercengang, matanya mulai berair, bibirnya bergetar menahan gejola yang berkecamuk didadanya. Sesekali dia menatap keluar jendela seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya, dan sesekali dia menggenggam erat tas dipangkuannya seakan apa yang aku ungkapkan ke dirinya hanyalah bualan semata.
Perlu waktu cukup lama bagi Willa untuk mencerna apa yang dia dengar. Mungkin otaknya sedang berpikir keras melawan hatinya yang lembut. dia hanya menatap lurus ke depan, tanpa berbicara sepatah katapun.
Aku tahu sulit baginya menerima kenyataan seperti itu, tapi memang kenyataan itulah kebenarannya.
“Tidak, maafkan aku” Jawabnya memecah kesunyian.
Aku langsung menghentikan mobil dan membalikkan tubuhku dan memandang matanya dengan lekat seakan tidak percaya dengan apa yang barusan iya katakan. Otakku langsung berfikir yang tidak-tidak dan menerka-nerka apa yang akan selanjutnya iya katakan. Hatiku sudah mulai merasakan atmosfer kesedihan yang kutahu akan berlarut-larut. Ac mobil yang dingin menambah kacemasanku. Pikiranku tidak focus dan jari jemariku basah karena keringat dingin.
“Terima kasih kau sudah mengungkapkannya, walaupun sulit bagiku mencernanya. Aku sangat terkejut, sangat tak terduga olehku kau berkata seperti ini. Tapi aku salut denganmu, kau menyampaikan isi hatimu. Susah sekali jika berada di posisimu sekarang ini, memendam perasaan selarut ini sampai sekarang. Aku tidak bisa membayangkan jika aku berada di posisimu itu. Kau pasti sangat tertekan dan cemas selama ini, tapi maafkan aku, aku…….”
“Tidak..” Batinku dalam hati. Aku sudah hampir menangis, tapi air mata ini tidak mau jatuh. “Tidak willa. Jangan katakan itu. Aku tahu apa yang akan kau katakan. jadi jangan katakan itu.”
Dan Willa pun mengungkapkannya dihadapanku, bahwa selama ini dia memendam perasaan yang sama sepertiku. Dia minta maaf telah melenyapkan cinta pertamaku. Dia memelukku dengan erat. Harum tubuhnya membuatku menangis, menangis sejadi-jadinya. Aku tidak ingat kapan terakhir kalinya aku menangis. Tapi kali ini aku tidak lagi punya rasa malu untuk menangis didepan seseorang.
6 bulan kemudian….
“Gimana penampilanku??” Tanya Dendy.
“Kau sangat tampan.” Jawabku tersenyum.
“Kau memang sahabat terbaikku.” Dendy merangkul dan memelukku dengan erat.
“Sudah saatnya kau melangkah ke kehidupan yang baru, selamat ya Bro, jaga Willa ya.” Ucapku tersendat.
“Mungkin hari ini adalah hari dimana kita hidup berdua ya Bro, Besok aku udah punya istri dan anak dan cucu. Aku harap kau segera menyusulku ya” Tegas Dendy
Akupun hanya tersenyum melihatnya. Perasaan tidak ikhlas menghampiri diriku lagi, orang yang selama ini aku sayangi dan cintai hari ini akan menjadi milik orang lain. Mereka berdua akan menempuh hidup baru membentuk suatu keluarga kecil yang bahagia. Aku marah, aku kecewa, aku sedih, aku tidak bisa berkata-kata apalagi.
Disatu sisi aku bahagia, orang yang aku cintai telah mendapatkan cinta sejatinya, jodohnya, tapi disisi lain aku tidak bisa mendoakan mereka karena perasaan keegoisan dalam diriku tidak bisa hilang. Aku egois ingin mendapatkan semuanya, seutuhnya, tapi apa dayanya cinta pertamaku tidak seindah yang kuharapkan. Kata orang cinta tidak harus memiliki, tapi dalam kasusku ini berbeda, Sangat bertentangan.
“Ayo kita foto bersama, kenang-kenangan.” Sahut Willa.
“Aku akan memanggil anak yang biasa-biasa itu, Hahahah.” Canda Dendy
Dendy menarikku dan memaksaku untuk berfoto. Awalnya aku menolak karena akan membuatku merasa sedih lagi, tapi Willa dengan sabar mengajakku dan menarik lembut tanganku.
Foto itu menjadi foto terakhir kami bersama menjadi orang-orang jomblo.
Dua minggu berlalu…
Aku duduk didepan laptopku untuk mengedit beberapa naskah yang mesti di terbitkan besok, hingga terdengar bunyi bel,dan ternyata kiriman paket yang isinya oleh-oleh dari Willa dan Dendy yang sedang bulan madu disebuah Negara tropis.
Aku membukanya, dan isinya adalah beberapa foto dan celana pantai bewarna pink terang. Foto tersebut adalah foto selama mereka mengunjungi tempat-tempat istimewa disana, dan berkilah sangat tidak enak karena tidak mengajakku ikutan. Dari beberapa foto tersebut juga ada foto kami bertiga sewaktu pernikahan mereka. Mereka mengirimkan ku celana pantai berwarna pink cerah dengan sepucuk memo didalamnya bertuliskan “ KAU AKAN MENDAPATKAN YANG LEBIH BAIK DAN LEBIH MACHO DARI DENDY, SALAM SAYANG DARI WILLA”.
Aku tersenyum menatapnya,dan aku percaya pada Willa, kalau dia benar.
Aku pun merobek foto pernikahan mereka dan menempatkan foto Dendy disebelah fotoku, lalu menempelkannya di figura yang sudah ada selama bertahun-tahun hidup bersama dengan Dendy. Dan aku melihatnya kembali, aku tersenyum sambil memandang kearah foto-foto tersebut,dan bergumam bahwa aku memiliki begitu banyak memory bersama Dendy. Dendy yang selalu tersenyum, Dendy yang selalu ingin dibuatkan makanan olehku, Dendy yang manja minta tolong dibereskan kamarnya, serta semua tentang Dendy. Semua itu tidak akan aku lupakan sedetikpun, karena Dendy adalah bagian dari hidupku. Dia telah ada dan tetap hidup dihatiku.
Penulis Cerita
0 komentar:
Posting Komentar