Minggu, 08 Juni 2014

Invisible youth



Siang yang panas dibulan Juni tiga tahun yang lalu…
“Aku sudah menunggumu dari tadi, kau kemana saja??” sahutku jengkel.
“Maaf ya say, mereka memberiku test yang lebih dari biasanya,” katanya manja.
“Kenapa begitu? Apa kau sudah pasti diterima??”
“95% Aku yakin, Heheheh.” Kulihat dia mengganti sepatu pantofelnya denagn sendal jepit.
 Ya, sudah ayo kita pergi makan”. Dia tersenyum sambil merangkul bahuku.
Namanya Willa, Dia sahabatku dari sejak SMA. Parasnya biasa saja tapi memiliki ketertarikan sendiri jika kita menatapnya, matanya yang tajam seakan kau akan diberi tahu akan mendapatkan vonis penyakit yang sangat langka. Senyumnya yang ramah, seakan kau akan menatap vonismu dengan senang hati. Rambutnya yang selalu dikepang kesamping, pecinta sendal jepit no. 1, selalu bawa botol air mineral dan pengagum setia Adam Lavine nya Maroon 5 (Cowok tuh seharusnya seperti nih orang, cool, macho, dan berkarisma katanya) . Kepribadiannya yang ceria, manja, tapi pendengar yang baik, blangsakan tapi peduli sama yang lain.
Itulah yang kusuka dari sosok cewek disebelahku ini yang akan menuju proses pendewasaan menjadi seorang wanita.
“Kau gak telepon Dendy?? Katanya. “Sudah, Kubilang jumpa di warung kopi belakang kampus seperti biasanya.” Jawabku malas.
“Kenapa, Mogok bicara lagi, kali ini masalahnya apa sih? Aku heran liat kalian berdua, 2 orang cowok, sahabatan dari dulu, tinggal 1 atap, tapi kelakuan kayak anak kecil aja, ingat umur mas bro, ni bukan zaman Smp kayak dulu.” Ceramahnya.
Telingaku gak tahan dengar ocehannya dan juga hasrat ingin curhat yang sudah menggebu didada sudah sesak ingin dikeluarkan, saat itu juga aku cerita semuanya tentang sahabatku satu lagi bernama Dendy yang kelakuannya belakangannya ini membuatku resah, jengkel gak ketulungan. Pergi gak bilang, pulang terlambat, gak pernah makan dirumah, tiap malam selalu teleponan sama cewek, dan selalu didepan laptop setiap saat. Dan kecurigaanku bertambah saat dia mulai teriak2 didepan laptopnya, sampai2 mengganggu pekerjaanku sebagai editor majalah. Ini adalah pekerjaan pertamaku, aku sedang merintisnya, dan bisa gagal hanya gara2 teriakan2 Dendy.
Willa hanya tersenyum mendengar keluhanku, senyum yang sangat manis sekali, disaat dia tersenyum, seakan hilang semua kegalauan hatiku. Dia hanya berkata singkat, padat dan jelas “kita lihat saja nanti.”
8 bulan kemudian…
“Dasi ku, kau melihatnya gak??”  Teriak Dendy. “ Diatas meja, sudah kusetrika tadi”  jawabku.
“Thanks ya Bro, dah baik banget mau nyetrikain” cengir Dendy.
“Ya sama-sama, sekalian aku juga lagi nyetrika tadi” jawabku.
“Aku beruntung punya sahabat seperti kamu, kau mengingatkanku dengan almarhum ibuku, seandainya dia masih hidup, pasti dia akan melakukan hal yang sama seprtimu, peduli dan perhatian denganku, selalu mengingatkanku, dan selalu menolongku.” Matanya berair.
“Aku melakukannya dengan senang hati lagi Den, lagian itulah yang namanya sahabat.” Jawabku.
Dia tersenyum. Senyum seperti anak kecil yang diberi permen oleh ibunya.
“Ayo kita sarapan, mudah-mudahan Tender kali ini sukses dan cepat terealisasi” Ajakku
Kami berdua pun sarapan dipagi yang cerah itu, berharap hari ini bisa lebih baik dari hari yang sebelumnya. Berharap Tuhan Yang Maha Esa memberikan jalan kelancaran dan kemurahan rezeki dihari ini.
Kami pun berbincang-bincang mengenai pekerjaan kami masing-masing. Dan Dendy pun bercerita panjang lebar tentang bisnis yang baru ia rintis yaitu Jasa Antar Jemput. Apa saja bisa diantar dan dijemput, mulai dari paket, surat, barang pindahan, barang-barang yang ditinggal atau tertinggal dirumah atau disuatu tempat oleh pemiliknya sampai jasa antar jemput anak sekolah.
Gak sia-sia beberapa bulan ini dia telat pulang kerumah bahkan tidak pulang hanya untuk mewujudkan cita-citanya ini. Aku sendiri kadang malu dengan semua yang sudah kukatakan dengannya, mengolok-olok bahwa dia hanya membuang-buang waktu dengan online terus menerus dengan laptopnya. Seakan-akan laptopnya itu sudah menjadi istrinya. Tapi sekarang anak itu sudah membuktikan ke semua orang terutama kepada kedua sahabatnya Aku dan Willa bahwa dia bisa. Sekarang Dendy telah berubah menjadi lebih baik, bijaksana, dewasa, dan bertanggungjawab. Aku sangat kagum dengannya dengan semua pencapaiaannya. Kagum dengan semua kerja kerasnya berbulan-bulan. Aku pun jadi teringat apa kata Willa waktu itu, “ kita lihat saja nanti”.  Aku menatap pria di depanku ini sambil menilai bahwa semua kata Willa itu benar, seakan Willa sudah tau apa yang akan terjadi, dan menunggu.
Ya, Menunggu. Salah satu kata andalannya Willa. Jika kita melakukan sesuatu berawal dari niat dalam hati, berjalan sesuai kaki melangkah, menggemgam erat apa yang akan kita tuju, dan mulut yang tak hentinya berdoa, maka akhirnya adalah menunggu agar Tuhan Yang Maha Esa melakukan apa yang pantas untuk kita sesuai standarisasi yang kita minta.
Inilah kami, Aku, Dendy dan Willa selalu menghabiskan waktu bersama dalam kurun waktu sejak lama. Baik buruknya sifat dan kelakuan sudah hapal luar dalam, dari hal yang sangat disukai sampai yang tidak disukai, isu-isu yang sedang populer, gosip disekitar selebritas yang gak habis-habis. tipe cewek dan cowok ideal, film dan aktor favorit, lagu dan band atau penyanyi idola, merek pakaian dan sepatu yang cocok dijadikan referensi untuk dicoba, makanan dan tempat nongkrong yang paling ok, sampai kepada pilihan partai politik yang diunggulkan menang pilkada dan menerka-nerka siapa jagoan yang bakal menang dan menjadi presiden untuk yang kesekian kalinya, semua sudah jadi bahan obrolan kami bertiga.
Aku tidak tau bagaimana mengungkapkan kedekatan kami bertiga. Semuanya saling melengkapi satu sama lain. Dendy yang rupawan, fashionable, pintar, mandiri, urakan, tapi gak segan memintamaaf merendahkan dirinya kepada orang yang dituakan, tipe pria dan menantu idaman semua orang. Willa yang cantik, apa adanya, ramah, sopan, walaupun cerewet, tetap menjadi andalan kami jika butuh tempat untuk curhat. Sedangkan aku biasa-biasa saja, tidak terlalu pintar, dan tidak terlalu tampan, biasa-biasa saja, serta menyenangi pekerjaan rumah tangga (karena sudah dibiasakan oleh ibuku dari dulu).
Kadangkalanya persahabatan kami diuji oleh keegoisan yang muncul dari diri kami masing-masing. Kejenuhan akan suatu hal, kemarahan yang tidak bisa dikontrol, silang pendapat, kesalah pahaman dan kecemburuan menjadi bumbu-bumbu kami dalam menikmati hidup selagi masih dikasih umur dan dapat berkarya. Itu semua menjadi batu loncatan bagi kami agar menjadi manusia yang dapat berguna bagi orang lain, karna sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang berguna bagi orang lain.
Tapi ada satu titik dimana semua bisa berubah 180°. Yaitu disaat kita jatuh cinta. Itulah yang kami rasakan saat ini. Saat jatuh cinta kepada seseorang secara tulus, seakan semua yang kita kerjakan akan terasa mudah dan cepat jika kita bersama orang yang kita cintai tersebut. Cinta itu buta, itulah kata-kata yang sering kami dengar dari orang-orang yang katanya sudah berpengalaman soal cinta. Buta karena tidak memandang siapa pun, ras, agama, suku, kaya miskin, cantik jelek, tinggi rendah, semua bisa jatuh cinta termasuk kami bertiga.
Setelah bertahun-tahun kebersamaan kami, perasaan jatuh cinta menghampiri kami. Kebersamaan kami memunculkan benih-benih cinta yang nantinya kelak entah siapa dengan siapa berlabuh ke pelaminan. Perasaan yang tidak bisa diajak kompromi, tidak mengenal batas waktu dan tidak mengenal syarat. 
Aku pun merasakannya. Kebersamaan kami menumbuhkan benih cinta tersebut. Aku ingin mengungkapkannya, tetapi jurang besar bernama persahabatan tepat berada didepanku. Aku tidak punya keberanian apakah keputusan yang akan aku ambil ini benar atau tidak. Tapi inilah cinta, tidak bisa ditunda, dia harus dikejar, dirangkul dan dipertahankan, tapi apa aku bisa, apa aku bisa mengungkapkannya kepada orang yang selama ini diam diam kucintai? Apakah dia akan menerima cintaku dan bersedia menjalani sisa hidup bersama berdua denganku?
Itu adalah pertanyaan besar yang selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Jika sesuai harapanku, itu merupakan hal yang sangat luar biasa dalam hidupku selama ini. Mencintai seseorang tanpa batas. Tapi jika kebalikannya, entah apa yang akan terjadi, apakah dunia akan runtuh atau hal buruk akan terjadi menungguku.
aku sangat mencintainya. Aku menerima baik buruknya dia. Aku mencintai gerak geriknya, senyumnya, manjanya, ketulusannya, semua dalam dirinya aku mencintainya. Tapi aku tidak punya keberanian. Aku hanya pria yang biasa-biasa saja, apakah aku pantas bersamanya??
“ Kau kenapa? Sakit? Kalau sakit, kita ke dokter dulu. Jangan kerja terus, istirahat dulu.” Tanya Dendy yang melihat aku tergeletak ditempat tidur kecapekan.
“Aku tidak apa-apa” jawabku singkat.
“Aku akan telefon Willa agar datang kesini, aku gak bisa masak, biar nanti kusuruh dia masak biar kau bisa makan,biar ada tenaga.” Pinta Dendy
“Tapi aku masih bisa masak lagi Den, gak perlu Willa datang. Ntar dia jadi heboh kalau sudah disini, malah gak jadi masak dianya. Kayak gak tau masakan Willa aja Lu” Jawabku
“Sekali-kali kita kita gak mau ngerepotin Lu, Jatah memasak kan selalu Lu yang pegang, nah sekali-kali biar Willa yang pegang. Tapi iyaya Willa kalau masak gak terlalu enak, Asin mulu. Kebelet mau kawin kayaknya dia yah..” Bantah Dendy sambil senyum-senyum.
“Hahaha, siapa yang akan mendampingi Willa menikah?” Batinku.
Januari tahun lalu….
“Mau pesan apa mas, mbak?” tanya seorang waitress bertahi lalat diwajahnya, mirip sekali Rano Karno versi cewek.
“Coffe Mexican Latte milik  mas Ganteng, Banana Strawberry milkshake pake chocochips pesanan mas Yang Biasa-biasa saja dan Mochacinno shake dengan krimer yang banyak punya Mbak Willa” sahut waitress tersebut, sebelum Willa menbuka mulutnya untuk memesan.
“Ok, ditunggu” sahut Waitress cantik berlalu tanpa menanyakan apakah benar pesanan kami tersebut.
Kami bertiga hanya senyum melihat tingkah Waitress yang selama 5 tahun belakang ini siap sedia melayani kami dengan menu pesanan yang sama, meja yang sama, dan hari serta jam yang sama.
“Aku punya pengumuman” Seruku membuka pembicaraan. “Aku diangkat menjadi kepala redaksi bagian sosial budaya dikantorku?”
“Bagus, aku selalu mendukungmu koq, Always Bro.” Jawab Dendy Senang.
“Alhamdulillah, tambah sukses aja kawan ku nich, tapi jangan keasyikan kerja, ingat umur dah tua, kapan rencana Lu kawin” Tanya Willa.
Deg.. Hatiku tertegun mendengar perkataan Willa barusan. Apa maksud dari Willa, apakah dia juga ingin menikah.
“Tungu aja bulan depan, aku akan mengenalinya kepada kalian.” Sahutku lantang.
“Lu serius?? Siapa dia? Apa aku kenal?” Desak Willa.
“Hmm, kau sangat mengenalnya”
“Apa rekan kerjamu?”
“Tidak”
“Jadi siapa? Koq aku gak pernah dengar kalian pacaran?”
“Memang aku gak pacaran dengannya.”
“Lahh, jadi…”
“Aku ingin mengungkapkan isi hatiku kepadanya”
“So sweet”
“Kenapa mesti bulan depan? Kenapa gak sekarang?”
“Hmm, aku takut dia belum siap.”
“Berarti kau masih ragu, donk?”
“Hmm, enggak, aku dah memutuskannya”
“Berarti bulan depan kita makan enak”
“Ya, gitulah”
“Aseek..”
Aku sudah memutuskannya. Aku akan mengungkapkan semua perasaanku padanya. Walaupun bakal ada yang menentangku, tapi perasaan ini tak terbendung lagi. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari, dan aku akan siap dengan konsekuensinya.
Hari itu aku mengajaknya pergi kesuatu tempat. Kami hanya pergi berdua. Sudah saatnya aku menceritakan apa yang selama ini terjadi denganku dan perasaanku.
Kami duduk bersebelahan di dalam mobil tanpa alunan musik. Aku menggenggam tangan kanannya dan dia hanya diam menggigit bibirnya. Aku ingin mengulur waktu, tetapi jalan didepanku ini membuatku ingin buru-buru mengakuinya. Saat terindah dalam hidupku adalah
saat saat dimana aku bertemu denganmu dan mencintaimu. Dan sekarang aku tahu bahwa hadiah terbesar dalam hidupku adalah kamu. Demi dirimu, hanya demi dirimu. Aku tak bisa memberikan seluruh dunia namun aku akan berjanji padamu saat ini aku akan menjadi seseorang hanya untuk dirimu. Ya, Ini hanya untukmu, hanya menjadi untukmu. Cinta di dalam hati kecilku, aku ingin mengisinya dengan keharumanmu. Aku ingin terkunci didalamnya, selamanya hingga aku dapat merasakan kebahagiaan.

Makhluk disebelahku ini menatapku dalam diam seakan ingin merontgen apa yang ada didalam pikiranku. Dia sudah gelisah dan sangat penasaran apa yang sebenarnya terjadi, dan segera ingin tahu menagapa dia berada disini denganku.
“Willa, aku ingin mengungkapkan kebenaran ini denganmu yang selama ini aku sembunyikan terutama darimu, ini adalah perasaan yang paling dalam, jauh lebih dalam dari lubuk hatiku. Mungkin aku lancang, tetapi inilah kebenarannya. Kebenaran yang mungkin akan membuatmu tidak percaya akan aku yang biasa-biasa ini. Aku tau kau adalah pendengar yang baik, kau akan memberikan solusimu yang terbaik, pendapatmu yang relevan, dan perasaanmu yang menjadi peneduh dikali hati ini sedang gundah. Jadi tolong dengarkan ini, karena aku tidak akan mengulanginya kembali.” Jawabku.

Aku pun menumpahkan isi hatiku yang sebenarnya kepada makhluk cantik disebelahku ini. Semua kegundahanku, kegalauanku, kecemasanku, kemarahanku, kesedihanku yang selama ini aku jalani sejak awal bertemu sampai detik ini, rasa cintaku yang sangat mendalam, tak tergantikan oleh apapun, semua aku ungkapkan kepadanya.

Aku melihatnya tercengang, matanya mulai berair, bibirnya bergetar menahan gejola yang berkecamuk didadanya. Sesekali dia menatap keluar jendela seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya, dan sesekali dia menggenggam erat tas dipangkuannya seakan apa yang aku ungkapkan ke dirinya hanyalah bualan semata.

Perlu waktu cukup lama bagi Willa untuk mencerna apa yang dia dengar. Mungkin otaknya sedang berpikir keras melawan hatinya yang lembut. dia hanya menatap lurus ke depan, tanpa berbicara sepatah katapun.
Aku tahu sulit baginya menerima kenyataan seperti itu, tapi memang kenyataan itulah kebenarannya.
“Tidak, maafkan aku” Jawabnya memecah kesunyian.
Aku langsung menghentikan mobil dan membalikkan tubuhku dan memandang matanya dengan lekat seakan tidak percaya dengan apa yang barusan iya katakan. Otakku langsung berfikir yang tidak-tidak dan menerka-nerka apa yang akan selanjutnya iya katakan. Hatiku sudah mulai merasakan atmosfer kesedihan yang kutahu akan berlarut-larut. Ac mobil yang dingin menambah kacemasanku. Pikiranku tidak focus dan jari jemariku basah karena keringat dingin.
“Terima kasih kau sudah mengungkapkannya, walaupun sulit bagiku mencernanya. Aku sangat terkejut, sangat tak terduga olehku kau berkata seperti ini. Tapi aku salut denganmu, kau menyampaikan isi hatimu. Susah sekali jika berada di posisimu sekarang ini, memendam perasaan selarut ini sampai sekarang. Aku tidak bisa membayangkan jika aku berada di posisimu itu. Kau pasti sangat tertekan dan cemas selama ini, tapi maafkan aku, aku…….”
“Tidak..” Batinku dalam hati. Aku sudah hampir menangis, tapi air mata ini tidak mau jatuh. “Tidak willa. Jangan katakan itu. Aku tahu apa yang akan kau katakan. jadi jangan katakan itu.”
Dan Willa pun mengungkapkannya dihadapanku, bahwa selama ini dia memendam perasaan yang sama sepertiku. Dia minta maaf telah melenyapkan cinta pertamaku. Dia memelukku dengan erat. Harum tubuhnya membuatku menangis, menangis sejadi-jadinya. Aku tidak ingat kapan terakhir kalinya aku menangis. Tapi kali ini aku tidak lagi punya rasa malu untuk menangis didepan seseorang.

6 bulan kemudian….
“Gimana penampilanku??” Tanya Dendy.
“Kau sangat tampan.” Jawabku tersenyum.
“Kau memang sahabat terbaikku.” Dendy merangkul dan memelukku dengan erat.
“Sudah saatnya kau melangkah ke kehidupan yang baru, selamat ya Bro, jaga Willa ya.” Ucapku tersendat.
“Mungkin hari ini adalah hari dimana kita hidup berdua ya Bro, Besok aku udah punya istri dan anak dan cucu. Aku harap kau segera menyusulku ya” Tegas Dendy
Akupun hanya tersenyum melihatnya. Perasaan tidak ikhlas menghampiri diriku lagi, orang yang selama ini aku sayangi dan cintai hari ini akan menjadi milik orang lain. Mereka berdua akan menempuh hidup baru membentuk suatu keluarga kecil yang bahagia. Aku marah, aku kecewa, aku sedih, aku tidak bisa berkata-kata apalagi.
Disatu sisi aku bahagia, orang yang aku cintai telah mendapatkan cinta sejatinya, jodohnya, tapi disisi lain aku tidak bisa mendoakan mereka karena perasaan keegoisan dalam diriku tidak bisa hilang. Aku egois ingin mendapatkan semuanya, seutuhnya, tapi apa dayanya cinta pertamaku tidak seindah yang kuharapkan. Kata orang cinta tidak harus memiliki, tapi dalam kasusku ini berbeda, Sangat bertentangan.
“Ayo kita foto bersama, kenang-kenangan.” Sahut Willa.
“Aku akan memanggil anak yang biasa-biasa itu, Hahahah.” Canda Dendy
Dendy menarikku dan memaksaku untuk berfoto. Awalnya aku menolak karena akan membuatku merasa sedih lagi, tapi Willa dengan sabar mengajakku dan menarik lembut tanganku.
Foto itu menjadi foto terakhir kami bersama menjadi orang-orang jomblo.

Dua minggu berlalu…
Aku duduk didepan laptopku untuk mengedit beberapa naskah yang mesti di terbitkan besok, hingga terdengar bunyi bel,dan ternyata kiriman paket yang isinya oleh-oleh dari Willa dan Dendy yang sedang bulan madu disebuah Negara tropis.
Aku membukanya, dan isinya adalah beberapa foto dan celana pantai bewarna pink terang. Foto tersebut adalah foto selama mereka mengunjungi tempat-tempat istimewa disana, dan berkilah sangat tidak enak karena tidak mengajakku ikutan. Dari beberapa foto tersebut juga ada foto kami bertiga sewaktu pernikahan mereka. Mereka mengirimkan ku celana pantai berwarna pink cerah dengan sepucuk memo didalamnya bertuliskan “ KAU AKAN MENDAPATKAN YANG LEBIH BAIK DAN LEBIH MACHO DARI DENDY, SALAM SAYANG DARI WILLA”.
Aku tersenyum menatapnya,dan aku percaya pada Willa, kalau dia benar.
Aku pun merobek foto pernikahan mereka dan menempatkan foto Dendy disebelah fotoku, lalu menempelkannya di figura yang sudah ada selama bertahun-tahun hidup bersama dengan Dendy. Dan aku melihatnya kembali, aku tersenyum sambil memandang kearah foto-foto tersebut,dan bergumam bahwa aku memiliki begitu banyak memory bersama Dendy. Dendy yang selalu tersenyum, Dendy yang selalu ingin dibuatkan makanan olehku, Dendy yang manja minta tolong dibereskan kamarnya, serta semua tentang Dendy. Semua itu tidak akan aku lupakan sedetikpun, karena Dendy adalah bagian dari hidupku. Dia telah ada dan tetap hidup dihatiku.


 Penulis Cerita

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar