Bismillahirrahmaanirrahiim…
Cerita berikut ini adalah kisah nyata yang terjadi pada saya beberapa waktu yang lalu dan saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengurangi atau menambah-nambahkan isinya. Saya langsung mulai saja ke inti ceritanya tanpa banyak pendahuluan.
Sekitar setahun yang lalu dari saat artikel ini ditulis, saya mendapat e-mail dari seseorang. E-mail ini berisi tawaran pekerjaan buat saya dari sebuah perusahaan yang merupakan anak dari satu induk perusahaan yang cukup besar. Induk perusahaannya itu sendiri termasuk dalam daftar 100 perusahaan yang paling “sehat” dan “kaya” di Indonesia. Dan yang mengirimi saya e-mail adalah General Manager dari perusahaan itu. Tawaran pekerjaan ini datang karena salah seorang kenalan merekomendasikan saya untuk satu posisi tertentu pada perusahaan tersebut. Posisi itu adalah trainer atau pelatih bagi para karyawan dari perusahaan-perusahaan klien mereka, yang setelah saya lihat ternyata juga merupakan perusahaan-perusahaan ternama dari dunia perbankan, asuransi, BUMN dll. Trainer untuk apa? Macam-macam. Mulai dari pengembangan karakter, leadership sampai selling skill.
Presentasi dan public speaking bukan barang baru bagi saya. Saya mendalami dan mempraktekkan ilmu public speaking, kepemimpinan dan psikologi massa selama kurang lebih 6 tahun untuk keperluan bisnis sejak masih duduk di bangku kuliah. Berbicara, presentasi, melatih dan pidato di hadapan puluhan, ratusan sampai ribuan audiens pernah saya lakoni. Sebelum akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan dunia itu beberapa tahun yang lalu dengan beberapa alasan pribadi.
Kembali ke tawaran pekerjaan tadi. Terus-terang, saya tertarik. Ini kesempatan saya untuk mengasah kembali skill saya di dunia human development. Singkat kata, saya membuat janji dengan sang General Manager tersebut dan begitu seriusnya dia ingin merekrut saya, bukan saya yang harus datang ke Jakarta (kantor pusat mereka), melainkan dia sendiri yang berniat mendatangi saya di Makassar. Saya pun berangkat dari Sorowako menuju Makassar dan kami bertemu di sebuah café waralaba ternama di Makassar.
Mulailah dia mempresentasikan perusahaannya. Menggunakan laptop ter-mutakhir keluaran Apple, dia fasih berbicara panjang lebar mengenai gambaran umum job description dari calon pekerjaan saya nantinya. Di akhir presentasi, dia menyodorkan beberapa lembar kertas kontrak untuk saya tandatangani. Saya bilang, sebaiknya saya bawa pulang dulu kontrak tersebut untuk saya pelajari di rumah, Insya Allah besok kita ketemu lagi. Dalam hati saya saat itu, besok adalah hari dimana saya resmi bergabung dalam team mereka. Ya, saat itu saya sudah 99% tertarik untuk menerima pekerjaan tersebut.
Sampai di rumah, saya mempelajari kembali kontrak itu. Tidak ada yang salah dengan isinya. Mengenai salary, ada beberapa poin perjanjian yang saya sudah tidak ingat lagi keseluruhan isinya, yang jelas seingat saya mereka akan membayar saya sekitar 10-20 juta per-minggu. Berarti per-bulan penghasilan saya bisa mencapai 40-80 juta, dengan tugas-tugas pekerjaan yang “ringan” menurut saya. Tidak heran memang, mengingat induk perusahaan mereka adalah salah satu perusahaan terbesar, terkaya dengan pertumbuhan profit yang sangat sehat setiap tahunnya (menurut Forbes). Saya menandatangani kontrak tersebut malam itu juga.
Besoknya, kami bertemu lagi. Entah kenapa saat itu saya belum serta-merta menyerahkan kontrak yang sudah ditandatangani. Kami ngobrol santai, makan siang bareng dan membicarakan hal-hal lain di luar pekerjaan. Jelas sekali, orang ini terlatih untuk ice breaking, yaitu ilmu berkomunikasi untuk memecah kebuntuan, mencairkan suasana dan mendekatkan diri dengan lawan bicara. Saya pun begitu, jadi kami cepat akrab. Beberapa jam berlalu dan saya belum juga menyerahkan kontrak tersebut.
Dia bercerita tentang senior sekaligus mentornya di perusahaan itu. Seseorang yang bernama melayu dan berkebangsaan Singapura. Digambarkannya ia sebagai orang yang tegas, disiplin dan old school. Saya menyimak, tersenyum, tertawa dan tertarik. “Berat dibimbing sama dia. Salah sedikit kita dilemparin asbak”, katanya sambil ketawa seolah-olah “ketimpuk asbak” adalah hal yang biasa terjadi. Saya juga ketawa, karena menurut saya itupun hal lucu dan saya menghargai orang-orang yang disiplin. Yah, secara pribadi saya memilih ditimpuk asbak oleh orang yang membina daripada dipuji-puji oleh orang yang tidak membawa manfaat apa-apa. Saya makin tertarik.
Kemudian dia melanjutkan, “Tapi dia juga orang yang santai di luar pekerjaan. Kadang kalo satu pekerjaan berhasil selesai bagus, kita ditraktir masuk bar dan nggak pulang sebelum ada yang muntah atau jatuh”.
Glek! Gubrak!
Pasti! Pasti orang ini bisa melihat perubahan seketika ekspresi wajah saya. Saya bukan orang yang bebas dari dosa-dosa masa lalu. Banyak sudah dosa saya di masa lalu. Dosa-dosa yang ingin saya tinggalkan. Dan bagi saya, komitmen meninggalkan kesalahan berarti juga komitmen untuk menjauhi segala hal yang berpotensi mendekatkan saya kepada melakukan kesalahan tersebut. Salah satunya dan yang terutama adalah LINGKUNGAN.
Masuk waktu sholat Ashar, saya bangkit berdiri dari kursi. Dengan nada santai, saya (sengaja) berkata ringan “Ashar yuk”. Dengan irama yang sama ringannya, dia membalas, “silakan…silakan…”. Jawaban yang sudah saya duga. Saya sholat, dia tetap tinggal di tempatnya duduk. Padahal sejak awal dia mengaku Muslim.
Waktu berjalan dan kami masih ngobrol. Hanya saja kali ini lebih terkesan satu arah. Dia bicara dan saya mendengarkan. Sampai tiba waktunya pulang, saya mengantar dia balik ke hotel tempatnya menginap. Kebetulan saat itu sedang terjadi demonstrasi di kota Makassar. Jalan-jalan ditutup dan di beberapa tempat terjadi kerusuhan. Mulailah dia mengomentari kondisi tersebut…
“Indonesia ini butuh pemimpin yang tegas. Kalau tidak, kondisi akan makin parah. Terbukti reformasi tidak berhasil. Sistem pemerintahan yang ada terbukti gagal mengatasi banyak masalah. Yang dibutuhkan sekarang adalah komunisme.”
Mendengar itu, selesai sudah semuanya. Saya tidak lagi tertarik bergabung dalam team mereka. Bukan karena iman saya yang kuat, tapi justru karena saya mengkhawatirkan lemahnya iman saya akan membawa saya terjerumus jauh jika saya berada di lingkungan mereka.
Sampai saya menurunkan dia di depan hotel dan besoknya dia terbang balik ke Jakarta, saya tidak menghubungi dia lagi. Lembar kontrak yang sudah saya tandatangani tidak pernah sampai ke tangannya. Dan sepertinya dia juga memaklumi “atmosfer” yang terjadi diantara kami, karena setelah itupun dia tidak pernah lagi menghubungi saya, baik via telepon atau e-mail.
Mudah-mudahan Allah melindungi saya, keluarga saya, orang-orang yang saya cintai, saudara-saudara dan sahabat-sahabat saya seiman serta seluruh ummat Muslim dari kerusakan akidah dan kontaminasi yang “berpakaian dan bertutur indah”.
“Gile, duit puluhan juta per-minggu ditolak. Hebat kamu ya!” | “Enak aja hebat. Saya ngiler berat dengan tawaran itu. Saya sudah membayangkan yang enak-enak. Dan suasana hura-huranya pasti menyenangkan sekali. Saya pasti akan menikmati punya duit sebanyak itu dan hura-hura seperti itu. Itulah sebabnya saya tolak. Bukan karena tidak suka, tapi karena saya khawatir bahwa saya akan menikmatinya.”
Sekali lagi, bukan kekuatan iman saya yang membuat saya menolaknya. Tapi justru karena saya masih merasa betapa lemahnya iman saya jika harus berada dalam lingkungan yang luar biasa “menyenangkan” seperti itu.
Semoga bermanfaat
Wassalam,
Cerita berikut ini adalah kisah nyata yang terjadi pada saya beberapa waktu yang lalu dan saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengurangi atau menambah-nambahkan isinya. Saya langsung mulai saja ke inti ceritanya tanpa banyak pendahuluan.
Sekitar setahun yang lalu dari saat artikel ini ditulis, saya mendapat e-mail dari seseorang. E-mail ini berisi tawaran pekerjaan buat saya dari sebuah perusahaan yang merupakan anak dari satu induk perusahaan yang cukup besar. Induk perusahaannya itu sendiri termasuk dalam daftar 100 perusahaan yang paling “sehat” dan “kaya” di Indonesia. Dan yang mengirimi saya e-mail adalah General Manager dari perusahaan itu. Tawaran pekerjaan ini datang karena salah seorang kenalan merekomendasikan saya untuk satu posisi tertentu pada perusahaan tersebut. Posisi itu adalah trainer atau pelatih bagi para karyawan dari perusahaan-perusahaan klien mereka, yang setelah saya lihat ternyata juga merupakan perusahaan-perusahaan ternama dari dunia perbankan, asuransi, BUMN dll. Trainer untuk apa? Macam-macam. Mulai dari pengembangan karakter, leadership sampai selling skill.
Presentasi dan public speaking bukan barang baru bagi saya. Saya mendalami dan mempraktekkan ilmu public speaking, kepemimpinan dan psikologi massa selama kurang lebih 6 tahun untuk keperluan bisnis sejak masih duduk di bangku kuliah. Berbicara, presentasi, melatih dan pidato di hadapan puluhan, ratusan sampai ribuan audiens pernah saya lakoni. Sebelum akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan dunia itu beberapa tahun yang lalu dengan beberapa alasan pribadi.
Kembali ke tawaran pekerjaan tadi. Terus-terang, saya tertarik. Ini kesempatan saya untuk mengasah kembali skill saya di dunia human development. Singkat kata, saya membuat janji dengan sang General Manager tersebut dan begitu seriusnya dia ingin merekrut saya, bukan saya yang harus datang ke Jakarta (kantor pusat mereka), melainkan dia sendiri yang berniat mendatangi saya di Makassar. Saya pun berangkat dari Sorowako menuju Makassar dan kami bertemu di sebuah café waralaba ternama di Makassar.
Mulailah dia mempresentasikan perusahaannya. Menggunakan laptop ter-mutakhir keluaran Apple, dia fasih berbicara panjang lebar mengenai gambaran umum job description dari calon pekerjaan saya nantinya. Di akhir presentasi, dia menyodorkan beberapa lembar kertas kontrak untuk saya tandatangani. Saya bilang, sebaiknya saya bawa pulang dulu kontrak tersebut untuk saya pelajari di rumah, Insya Allah besok kita ketemu lagi. Dalam hati saya saat itu, besok adalah hari dimana saya resmi bergabung dalam team mereka. Ya, saat itu saya sudah 99% tertarik untuk menerima pekerjaan tersebut.
Sampai di rumah, saya mempelajari kembali kontrak itu. Tidak ada yang salah dengan isinya. Mengenai salary, ada beberapa poin perjanjian yang saya sudah tidak ingat lagi keseluruhan isinya, yang jelas seingat saya mereka akan membayar saya sekitar 10-20 juta per-minggu. Berarti per-bulan penghasilan saya bisa mencapai 40-80 juta, dengan tugas-tugas pekerjaan yang “ringan” menurut saya. Tidak heran memang, mengingat induk perusahaan mereka adalah salah satu perusahaan terbesar, terkaya dengan pertumbuhan profit yang sangat sehat setiap tahunnya (menurut Forbes). Saya menandatangani kontrak tersebut malam itu juga.
Besoknya, kami bertemu lagi. Entah kenapa saat itu saya belum serta-merta menyerahkan kontrak yang sudah ditandatangani. Kami ngobrol santai, makan siang bareng dan membicarakan hal-hal lain di luar pekerjaan. Jelas sekali, orang ini terlatih untuk ice breaking, yaitu ilmu berkomunikasi untuk memecah kebuntuan, mencairkan suasana dan mendekatkan diri dengan lawan bicara. Saya pun begitu, jadi kami cepat akrab. Beberapa jam berlalu dan saya belum juga menyerahkan kontrak tersebut.
Dia bercerita tentang senior sekaligus mentornya di perusahaan itu. Seseorang yang bernama melayu dan berkebangsaan Singapura. Digambarkannya ia sebagai orang yang tegas, disiplin dan old school. Saya menyimak, tersenyum, tertawa dan tertarik. “Berat dibimbing sama dia. Salah sedikit kita dilemparin asbak”, katanya sambil ketawa seolah-olah “ketimpuk asbak” adalah hal yang biasa terjadi. Saya juga ketawa, karena menurut saya itupun hal lucu dan saya menghargai orang-orang yang disiplin. Yah, secara pribadi saya memilih ditimpuk asbak oleh orang yang membina daripada dipuji-puji oleh orang yang tidak membawa manfaat apa-apa. Saya makin tertarik.
Kemudian dia melanjutkan, “Tapi dia juga orang yang santai di luar pekerjaan. Kadang kalo satu pekerjaan berhasil selesai bagus, kita ditraktir masuk bar dan nggak pulang sebelum ada yang muntah atau jatuh”.
Glek! Gubrak!
Pasti! Pasti orang ini bisa melihat perubahan seketika ekspresi wajah saya. Saya bukan orang yang bebas dari dosa-dosa masa lalu. Banyak sudah dosa saya di masa lalu. Dosa-dosa yang ingin saya tinggalkan. Dan bagi saya, komitmen meninggalkan kesalahan berarti juga komitmen untuk menjauhi segala hal yang berpotensi mendekatkan saya kepada melakukan kesalahan tersebut. Salah satunya dan yang terutama adalah LINGKUNGAN.
Masuk waktu sholat Ashar, saya bangkit berdiri dari kursi. Dengan nada santai, saya (sengaja) berkata ringan “Ashar yuk”. Dengan irama yang sama ringannya, dia membalas, “silakan…silakan…”. Jawaban yang sudah saya duga. Saya sholat, dia tetap tinggal di tempatnya duduk. Padahal sejak awal dia mengaku Muslim.
Waktu berjalan dan kami masih ngobrol. Hanya saja kali ini lebih terkesan satu arah. Dia bicara dan saya mendengarkan. Sampai tiba waktunya pulang, saya mengantar dia balik ke hotel tempatnya menginap. Kebetulan saat itu sedang terjadi demonstrasi di kota Makassar. Jalan-jalan ditutup dan di beberapa tempat terjadi kerusuhan. Mulailah dia mengomentari kondisi tersebut…
“Indonesia ini butuh pemimpin yang tegas. Kalau tidak, kondisi akan makin parah. Terbukti reformasi tidak berhasil. Sistem pemerintahan yang ada terbukti gagal mengatasi banyak masalah. Yang dibutuhkan sekarang adalah komunisme.”
Mendengar itu, selesai sudah semuanya. Saya tidak lagi tertarik bergabung dalam team mereka. Bukan karena iman saya yang kuat, tapi justru karena saya mengkhawatirkan lemahnya iman saya akan membawa saya terjerumus jauh jika saya berada di lingkungan mereka.
Sampai saya menurunkan dia di depan hotel dan besoknya dia terbang balik ke Jakarta, saya tidak menghubungi dia lagi. Lembar kontrak yang sudah saya tandatangani tidak pernah sampai ke tangannya. Dan sepertinya dia juga memaklumi “atmosfer” yang terjadi diantara kami, karena setelah itupun dia tidak pernah lagi menghubungi saya, baik via telepon atau e-mail.
Mudah-mudahan Allah melindungi saya, keluarga saya, orang-orang yang saya cintai, saudara-saudara dan sahabat-sahabat saya seiman serta seluruh ummat Muslim dari kerusakan akidah dan kontaminasi yang “berpakaian dan bertutur indah”.
“Gile, duit puluhan juta per-minggu ditolak. Hebat kamu ya!” | “Enak aja hebat. Saya ngiler berat dengan tawaran itu. Saya sudah membayangkan yang enak-enak. Dan suasana hura-huranya pasti menyenangkan sekali. Saya pasti akan menikmati punya duit sebanyak itu dan hura-hura seperti itu. Itulah sebabnya saya tolak. Bukan karena tidak suka, tapi karena saya khawatir bahwa saya akan menikmatinya.”
Sekali lagi, bukan kekuatan iman saya yang membuat saya menolaknya. Tapi justru karena saya masih merasa betapa lemahnya iman saya jika harus berada dalam lingkungan yang luar biasa “menyenangkan” seperti itu.
Semoga bermanfaat
Wassalam,